KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat memang sudah memutuskan untuk melanjutkan pembangunan gedung barunya, yang senilai Rp 1,138 triliun. Meskipun tidak semua fraksi dan anggota DPR sependapat, suara rakyat terasa tak didengar oleh mereka yang mengaku wakil rakyat tersebut. Bahkan, sinyalemen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang penghematan anggaran juga seperti angin lalu bagi sebagian besar anggota DPR.
Walaupun demikian, penolakan terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR itu terus mengalir. Bukan hanya dilakukan sebagian wakil rakyat, politikus, aktivis, dan akademisi, tetapi juga oleh rakyat kecil. Mereka, meski jauh dari ingar bingar politik, ikut memantau rencana DPR menggunakan dana yang dihimpun dari rakyat untuk membangun gedung baru.
Jika merasakan kondisi rakyat yang kini masih hidup susah, tentu tak seorang pun menyetujui penghamburan uang negara. Penjual roti di Jakarta Barat, Dedi Jumaidi (41), misalnya, menyayangkan sikap DPR yang tak peduli pada suara rakyat. Dedi dan sejumlah temannya, yang harus berkeringat mengayuh gerobak roti hanya untuk mendapatkan beberapa rupiah per hari, juga ingin diperhatikan wakil mereka.
”Kuduna mah dibagikeun wae ka rakyat (Seharusnya dibagikan saja kepada rakyat),” ujar Dedi, yang kelahiran Bogor, soal uang yang akan dipakai untuk membangun gedung baru DPR.
Seorang warga Cengkareng, Jakarta Barat, Ade LP (22), merasa DPR konyol jika membangun gedung baru, padahal gedung lama masih ada dan layak. Ade, yang bertugas sebagai penjaga keamanan perumahan di Jakarta Utara, mengibaratkan DPR sebagai warga serakah yang sudah mempunyai rumah bagus, tetapi masih membangun rumah baru.
Hal ini diperparah oleh kondisi rakyat Indonesia yang masih miskin. Ade pun kesulitan memiliki rumah sendiri. Dengan gaji yang tak seberapa, ia hanya mampu menyewa sebuah kamar indekos.
”Pake yang ada saja enggak beres (kerjanya),” ujar Ade, yang sejak lama mengikuti rencana pembangunan gedung baru DPR melalui koran dan televisi.
Pedagang nasi di sekitar pusat perbelanjaan mewah di Jakarta Pusat, Atiek (55), menambahkan, DPR seharusnya melihat kondisi rumah rakyat kecil di permukiman padat. ”Neng Jakarta iku, wis omahe cilik men, urip yo susah. Sembarang larang. Iki maneh, jare wakil rakyat, tapi ora mikir rakyat (Di Jakarta, sudah rumah sangat kecil, hidup susah. Semua mahal. Ini katanya wakil rakyat, tetapi tak memikirkan rakyat),” ujar warga asal Jombang yang tinggal di Kebonkacang, Jakarta, itu.
Ketua DPR Marzuki Alie boleh saja mengatakan rakyat kecil tak perlu diajak bicara soal rencana pembangunan gedung baru DPR. Meski pusing memikirkan urusan perut, mereka peduli pada perilaku wakil rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar
Apa pendapat anda tentang artikel diatas??
pendapat anda sangat berarti bagi kami, untuk artikel di atas.. :)